Francis Bacon, Garcia, dan William


Hidup ini adalah rumah sakit di mana setiap pasien
dirongrong keinginan untuk bertukar ketiduran. Si ini
ingin menanggungkan deritanya di depan perapian,
Si itu mengira bisa sembuh di sisi jendela.

(Charles Baudelaire)

        Prancis Bacon dalam sebuah esainya mengatakan “they perfect nature, and are perfected by experience”, jika saya maknai dalam bahasa Indonesia. Pembelajaran itu tidak hanya duduk dikelas. Belajar bisa kita lakukan di mana pun. Bacon mengurai esai tersebut dalam  “of study, of truth dan of friendship” Selanjutnya, belajar di dalam kelas sangat membosankan, tuturnya. Kita mencari ilmu tidak hanya dalam kelas, tapi bisa mendapatkannya di mana pun, dan penyempurna pembelajaran itu adalah pengalaman (experience).

            Uniknya, Bacon mengatakan “…studies serve for delight, for ornament and for ability”. Dalam kata delight bisa merujuk pada kesenangan. Bisa jadi, dalam esai tersebut kesenangan lebih bersifat pribadi (self), dapat merasakan kesenangan yang ada dalam diri pribadinya, Ornament, berarti juga hiasan. Menurut Bacon di mana kita belajar (formal, informal dan nonformal) akan menjadi sebuah pengetahuan baru dengan wawasan. Selanjutnya ability, lebih kepada seseorang mendapatkan bakat atau kemampuan ketika dia belajar. Ditambah juga Bacon menulis “..some books are to be tasted” menegaskan buku menjadi tambahan di mana seseorang harus mendapatkan pengetahuan baru dalam buku, apapun itu jenis bukunya.

            Francis Bacon, sudah lama meninggalkan hirup-pikuk dunia (death). Apalagi dunia pendidikan. Seorang esais, pengacara. filsuf dan negarawan. Di lahirkan di York House, Charing Cross, London, 22 Januari 1561. Tentu saja, Bacon seorang penulis, jadi tidak mengapa saya mengenal Bacon lewat tulisannya. Membaca pemikiriannya lewat kata, frase, kalimatnya. Begitulah mungkin, jika menulis kita akan diabadikan sejarah. Tidak mati hampa.

            Alkisah, suatu hari, saya bermimpi, bagaimana jika Bacon datang dan duduk diruangan Fakultas Adab dan Humaniora dan gedung Z (tempat saya kuliah)? Oh, mungkin saya akan bergegas memberitahu teman-teman saya yakni, Rovi’ Garcia Amarulloh dan Awan William, dan bisa jadi kami akan mengajak Bacon, berdiskusi, ngopi, sampai pagi. Seperti kemarin, ketika kami kedatangan Naib, Dedi Ahimsa. Mungkin juga, akan meminta esai-esainya Bacon, seperti kami meminta esai-esai Dedi Ahimsa, yang menohok, bernas dan tuntas. Tubuh Dedi Ahimsa pergi menjauh, tapi esainya selalu ada dibenak kami, menjadi pedoman kami menulis.

            Sejenak kami mengenang Dedi Ahimsa. Memang Dedi Ahimsa bukan Francis Bacon. Tapi jika Bacon datang ke tempat kami kuliah (meminjam istilah dalam buku Bambang Q-Anees) Saya tidak akan lupa akan mengirim pesan kepada penyair Bunyamin Fasya agar datang ketempat kami diskusi. Sebab saya rasa Fasya, masih konsisten dalam dunia sastra, seperti Fasya mencintai: Leli, Tari, dan Katumbiri. Dan sekarang Fasya, selain menjadi penyair, menjadi tukang pemberi nama-nama bagi para penulis pemula. Pembabtis agar terus berkreative.

           Seperti Rovi’i, ditambah menjadi Garcia Amarulloh dan Asep Gunawan menjadi Awan William. Dengan dalih itu, akan menambah energi kreative bagi mereka. Kini, Garcia dan William, layaknya “macan” yang terus mengaung dalam hutan sastra, yang penuh cacing dan pepohonan yang menjulang tinggi. Garcia, lamat-lamat meninggalkan kajian tekhnologinya, dan tertarik pada dunia cerpen dan esai sastra. Sementara William mulai meninggalkan dunia musiknya. Dulu dia memang seorang vokalis disebuah group band terkenal di kota Kembang, tapi dia memilih untuk terjun menjadi penulis esai sastra dan penerjemah karya sastra Inggris dan dunia.

          Bahkan, kalau di beri izin dan tepat esoknya ada tanggal merah, saya akan mengajak Bacon “begadang” di Pygmalion. Bacon akan bertemu Tamiang Ganda yang sering membuat saya dan teman-teman tertawa. Sebab kalau besok tidak tanggal merah, mungkin akan sulit untuk begadang, Tamiang Ganda itu menjadi staf pengajar di salah satu sekolah di kota Kembang. Dan tidak lupa saya akan segera memberitahu juga Rak Buku Raja Gula, Fajar Paujan, para punggawa SUAKA dan Herton Maridi, jendral Sasaka agar merapat, tak lupa Atep Kurnia, Galah Denawa dan tidak lupa akan saya kasih tahu Sukron Abdilah dan Ibn Ghifari agar diberitakan. Ah, tentu saja akan lengkap, semua berdiskusi sambil tertawa senang. Huuuuuh! Byuuuuurrr! Glekglek! Dan saya akan memutar lagunya Jessie J Feat B.O.B “ah, you ready /oh cacing-cacing, babling-babling. Price Tag, every body, look!”

Bacon, Komunitas, Luka kultural

             Francis Bacon tentu saja tidak mengenal Garcia dan William. Tetapi Garcia, William, seperti keranjingan Bacon. Mungkin ini yang ditegaskan bahwa ruang komuntias bisa menjadi alternative dari pembelajaran itu. Seperti halnya di komunitas, semua perasaan bisa senang, main-main dan itulah yang disebut ornament oleh Bacon. Di mana saya rasa pengalaman dan wawasan, serta lapangan. Mendapatkan, meminjam bahasanya Syahrini “sesuatu” yang baru atau kata Octavio Paz “Suara lain” (the other voice) yang mungkin dilupakan oleh para dewa yang sedang berada di atas menara itu. Dengan dalih “seorang manusia tidak bisa melebihi dewa” manusia tetap manusia dan dewa merasa enggan bergaul dengan manusia (komunitas). Mungkin dewa itu tidak mengenal medan sastra yang sesungguhnya. Arus bahasa yang terus berkembang. Ditambah parahnya lagi buku hanya menjadi replika usang yang menusuk hidung. Apalagi seorang teman (calon sarjana padepokan sastra) hanya memiliki satu buah buku sastra.

           Selain itu pula, Garcia dan William kini sedang merenda luka cultural. Pasca keberangkatan L (meminjam bahasanya Dedi Ahimsa, L yang diasosikan, yakni Lili Awaludin).  Luka cultural itu kini semakin mengaga. Padahal pada sisi lain, Prancis Bacon menekankan pada komunitas, sedangkan komunitas sedang menjadi “kambing hitam” di dunia para dewa itu dan mereka saya rasa mirip masyarakat Macondo (Gabril Garcia Marques: Seratus Tahun Kesunyian) yang amnesia lupa akan sejarah. Tetapi, Garcia dan William itu sempat seperti halnya Estargon dan Vladimir yang sedang menunggu Godot. Oh, Godot yang agung tak kunjung datang. Maka penggambaran dan pemberian tokoh Beckket dengan menggerutu. Dari hari kehari. Dan mereka itu (Garcia, William) mulai melupakan Godot dengan salah satunya berkarya, meminjam istilah Garcia “Mari bersastra, mari berkarya” dunia sastra memang identik dengan berkarya, tanpa karya, menjadi nihilisme. Sedangkan sastra sudah banyak menanggung beban makna dan sosial, seperti halnya sastra harus diakrabkan sama tukang beca! Diperparah dengan sangat memprihatinkan dunia sastra (kok asing sama penulis karya sastra). Saya rasa ini bukan saja korupsi, tetapi itu juga bahaya akut yang harus segera dienyahkan.

           Maka, seperti kata Bacon, kita bisa belajar di mana pun, kapan pun. Kita bisa belajar sama  penjual bubur kacang. Bisa belajar meracik bumbu sama tukang nasi goreng. Dan bisa belajar meminjam istilahnya Tamiang Ganda “menanak sayur kacang!”

Pungkit Wijaya - Penikmat Sayur Kacang, mahasiswa kosentrasi sastra UIN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Share This