Satru, Luka Kultural, dan Realitas Politik


Oleh. Pungkit Wijaya*

Teu sudi teuing kudu sarua jeung baju si Suminta!
(Karyana)

          Dua orang lelaki berhadapan, saling menikam dalam pandangan matanya. Dadanya dibusungkan. Kerut muka kedua lelaki itu seperti membawa dendam yang tersimpan. Tubuh, muka, dan matanya seperti membawa bahan-bahan empiris ke dalam dunia imajiner (panggung) . Karyana ( Acep Bolo), Suminta (Eki Abeng) langsung membuka adegan dengan bahasa tubuh yang mengisyaratkan permusuhan, lalu mereka mengisi panggung kiri dan kanan. Saling berkata dan mencaci, memecah ruangan. Mengumbar sumpah serapah, terlihat sekali kebencian ditabur. Seluruh penonton tercenung.
Kata-kata serapah dilontarkan tokoh Karyana (Bolo) dalam pembuka dialog pertunjukan Satru. Kata-kata serapah itu menjadi titik tolak, bagaimana kebencian menjadi penting dalam permusuhan dengan seteru, apalagi dalam realitas politik. Karyana (Bolo) sebagai seteru Suminta (Eki), maka tak pelaknya mereka berdua saling membalas serapah itu. Dengan saling melontarkan kata-kata kebencian atau sinisme menjadi penting dalam membangun konflik suatu cerita, dua tokoh itu yang berebut kekuasaan Kuwu (Desa) dalam naskah drama Satru karya Nazarudian Azhar.
            Kendati demikian, Satru menjadi salah satu pilihan naskah dari Festival Drama Basa Sunda (FDBS-12) Teater Sunda Kiwari, FDBS 12 itu pun telah berlangsung pada tanggal 12 Maret-5 April di GK Rumentang Siang. Naskah tersebut pula yang dipinang Teater Awal UIN Bandung untuk dipentaskan. Tersebutlah pada tanggal 13 Maret Teater Awal mementaskannya, sebagai salah satu teater kampus yang sudah melanglang buana di jagat pementasan itu, Teater Awal mementaskannya kembali di Audotorium UIN SGD Bandung tanggal 27-28 Maret, di Sutradarai Dani Jauharudin dan segenap awak Teater Awal.
            Panggung tidak seperti pementasan di galeri atau panggung teater. Konsep natural dipilih para punggawa artistik dari Teater Awal. Panggung menjadi sederhana. Pemain, penonton berada dalam satu jajar, tidak ada stage yang dikhususkan. Hanya podium dibelakang tempat para pemusik. Kain-kain hitam melengkup aula, dan permainan lampu menyorot kedua tokoh tersebut kata-kata meluncur dari kedua mulut Karyana (Bolo) dan Suminta (Eki) sebagai pembelahan peristiwa dalam beberapa adegan (satu panggung).
Misalnya, salah satu istri Karyana (Bolo) yakni  Darsih ( Yanti ‘Ateu’) yang terus menjadi tokoh pelengkap dalam percakapan. Seperti membayangkan dua peristiwa, dari rumah berbeda, realitas keluarga saheng,. Ditambah beberapa tokoh yang keluar masuk panggung seperti halnya Sodik (Dado), Kodar (Martin) sebagai tim sukses, Kodar (Martin) menjadi juru kampanye dan pemimpin Laskar Suminta, sementara Sodik (Dado) menjadi juru kampanye Karyana.
Para penonton menikmati pementasan tersebut. Dengan suguhan aktor yang memikat. Bahasa realise dan suspense menjadi ciri dari dialog para aktor dan seluruh adegan dalam Satru. Sementara suara-suara satire sesekali membuat penonton tertawa terbahak-bahak. Suara-suara sindir itu mengajak penonton untuk memungut rentetan alur cerita, desa (keluarga) seteru dengan beberapa peristiwa yang dirangkum dalam satu panggung. 

Luka Kultral dan Realitas Politik

Di tambah dengan realitas keluarga saheng. Dialog-dialognya bernas. Sementara ada ingatan yang melandasi seteru itu. Luka kultural terus tertanam dalam dua keluarga yang sempat menjadi lawan politik, Luka kultural itu sungguh sulit disembuhkan. Karyana adalah keturunan mantan Kuwu Sahri dan Suminta anak dari calon Kuwu Darta. Akhirnya luka itu terus menganga, dan saling membenci. Percepacahan dan mosi tidak percaya antara satu sama lain (calon kuwu dan mantan kuwu). Tentu saja, yang menjadi generasi penerus Karyana dan Suminta digambarkan berbeda partai. Sebagai kedua calon kuwu, mereka merasa dirinya paling baik dan akan memajukan desa. Dengan lonataran visi dan misi.
Begitu pula terkena implikasinya yakni Rahmat (Rizal) dan Dini (Irma), dua tokoh anak muda yang sedang menjalin asmara. Bila dikata sedang pageugeut-geugeutna. Rahmat (Rizal), anak lelaki dari Raden Suminta dan Dini (Irma) dari Drs Karyana. Di tengah cerita tokoh Rahmat (Rizal) dan Dini (Irma) yang dibesarkan oleh keluarga itu saling mengenal dan akhirnya bertaut kasih.

Rahmat: Iraha rek alakurna nya?
Dini     : Nya engek we mun urang nikah, kang…
Rahmat: Lila keneh atuh, pan iteungna ge kuliah keneh dua taun deui…
Dini     : Katambah deui ayeuna rek pemilu kuwu. Beuki angot. Itu ieu nganggap satru. Lieur Iteung mah…
Rahmat : Sarua, akang ge lieur, Nyi…

Seperti dalam dialognya, Rahmat (Rizal) dan Dini (Irma) menjadi penentu atau antiklimaks dalam cerita. Sementara, dalam kampanye tersebut dangdut menjadi pilihan, pada semesta saheng. Tokoh Imas Vibrator, sebagai penyanyi dangdut, membuat heboh, kedua belah pihak yang akan mencalonkan kuwu, tokoh imajinatif Imas Vibrator pun dihadirkan dalam panggung.
Kesalahan bahasa dalam dialog menjadi penting. Walhasil, pemahaman Imas Vibrator menjadi kabur. Suminta (Eki) memahami Imas Vibrator itu sebagai alat Kontrasepsi dan Karyana (Bolo) sebagai penyanyi dangdut. Dan penambahan konflik, ketidaksetujuan terhadap penyanyi dangdut. Acara dangdut tersebut mengejutkan, pada akhirnya membuat seteru itu menjadi bersatu di akhir pertunjukan yang sengaja dihadirkan Rahmat (Rizal Miun) dan Dini (Irma) sebagai akal bulus mereka agar dua seteru itu berdamai.
Sebelumnya, panggung menjadi terbelah, sisi lain penonton harus melihat ke depan (panggung utama) sisi lain, realitas dangdut dihadirkan para penata pemusik yang dikomadoi (Davi Duyek) dan semua penonton melihat pementasan dangdut itu, tokoh MC (Fahmi Ayams) yang kemayu, menjadi pelengkap suara satire itu. Imas Vibrator pun tiba, bergoyang. Byuurrr! Tariiik! Sambil bergoyang diselingi dengan adegan seteru, itulah keunikan pertunjukan satru di auditorium UIN. Penonton seperti masyarakat yang sebenarnya, ikut dipaksa melihat realitas politik (seteru) dan dangdut.
Menarik jika dicermati, suara satire itu sebenarnya menggambarkan realitas sosial-politik dalam pemilihan kuwu (lurah). Realitas politik (pertujukan) yang memberi pesan dan makna terdalam, meski bahasanya sindir, kepada masyarakat (khususnya kampus) tergambar oleh beberapa awak team sukses, bahwa masyarakat dituntut cerdas, tidak hanya menginginkan politik uang (money politik) apalagi para politikus atau pejabat bagaimana sikap sebaiknya mendidik masyarakat.
Begitulah seni, gambaran atau replika meminjam Aristoteles dari semesta. Dari seni khsusnya teater (pertunjukan) bisa digambarkan dan diramalkan tentang persoalan kemanusiaan. Dengan itu dunia “kemungkinan” yang akan menyumbangkan pada perubahan sosial. Sebab jikalau kita membayangkan dunia yang masih mungkin (possible world) dan akan tergerak bagaimana membaharui dunia yang sedang terjadi (realitas). Jadi selayaknya dunia pertunjukan itu memberi gambaran, citraan, bentuk masyarakat mana yang dapat disusun yang sementara ini dianggap sebagai dunia imajiner.

*Penikmat Pertunjukan Teater, Anggota Teater Awal XXII Mahasiswa Kosentrasi Sastra di Fakultas Adab dan Humaniora UIN SDG Bandung.              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Share This